being sad with the right person is better than being happy with the wrong ones

Sabtu, 31 Januari 2015

Apa Kabar Kamu yang Selalu Jadi Orang Pertamaku?

Untuk yang aku sayang sepenuh hati. Mungkin ini tidak akan pernah kamu baca, tapi ketahuilah aku menulisnya memang untuk tidak kau ketahui. Apa kabarnya kamu hari ini? Aku sudah lupa bagaimana rasanya berbicara panjang denganmu. Aku tidak tahu apakah kamu menyadari sesuatu tentangku atau tidak, namun aku berharap kamu mengerti. Sejak saat itu, setelah aku tersentak dan menyadari semuanya aku bergegas untuk bersiap. Bersiap untuk apa? Bersiap untuk tidak lagi ada didekatmu. Kenapa aku harus tidak berada didekatmu walaupun itu sulit? Karena aku menyadari pada akhirnya jika aku terus didekatmu, semuanya menjadi lebih sulit. 

Apa kau ingat bagaimana pertama kali kita berbicara panjang? Ya, kita berbicara tentang dia. Dia yang selalu kau kagumi dengan segenap perasaanmu. Dia yang kau cinta dengan seluruh hatimu. Mulai sejak itu aku sudah menyadari kau istimewa dan kau akan menjadi kekasih yang luarbiasa. Aku tahu itu. Kita berbicara selalu seperti lupa akan waktu. Kau tahu? Berbicara denganmu seperti meminum kopi dipagi hari, manis yang menyenangkan pahit yang menenangkan namun adiktif. Aku bisa merelakan waktu santai sore hariku sepulang sekolah atau waktu istirahat malamku seusai bimbingan belajar hanya untuk sekedar mendengar ceritamu -yang masih tentangnya. Kau sebut aku sahabat karena memang itu adalah peranku dalam kisah kali ini. Sampai suatu hari, disaat semua drama SMA sudah terlewati, semua jadi berbeda.

"we live in different city, we go to different college. The only thing that stays the same is ourself. You are still my very bestfriend."

Tahun pertama dikampus adalah tahun yang menyenangkan. Kita bertemu dan berteman dengan banyak orang luarbiasa, tinggal ditempat baru dan lingkungan baru. Namun berbicara denganmu selalu lebih menyenangkan. Kau masih bercerita kadang tentangnya, kadang tentang kehidupan barumu. Begitu menyenangkan mendengarmu bahagia dengan kehidupan baru yang kau punya, sungguh. Hari berganti bulan, bulan berganti semester dan satu semester kita lewati dengan tetap berkabar satu sama lain setiap hari. Sampai akhirnya, aku merasakan sesuatu. Sesuatu yang dengan segera aku tepis. Aku rindu.

"Tanpa disadari, jarak menumbuhkan hal semacam rindu yang kutolak untuk tumbuh. -@sebuahego"

Rindu suaramu, rindu akan semua leluconmu, dan telfon genggamku dengan suaramu didalamnya tidak bisa mengobati rindu itu. Aku mulai bertanya, ada apa denganku? Namun akal sehatku masih mengatakan ini satu rindu dari seorang sahabat kepada sahabat lainnya. Namun di semester berikutnya, akal sehatku mulai kalah. Ceritamu, tidak lagi melulu tentangnya. Selalu senang rasanya mendengar kabarmu setiap hari entah tentang dosenmu yang suka memberi tugas, atau tentang makanan yang kau makan hari ini. Aku juga bercerita tentang hariku. Kau adalah orang pertama yang akan kuberitahu jika dosenku memberikan kuis mendadak, atau jika aku terlambat bangun untuk kuliah pukul setengah 7 pagi. Begitu setiap harinya dan aku bahagia. Kau juga begitukah?

"I love for how you always with me even when you are not around." -@sebuahego

Suatu saat, aku ditelfon ibuku. Beliau berkata akan dioperasi karena suatu hal. Aku ingin menangis, tapi tidak bisa. Akhirnya aku menelfonmu dan kau bilang menangislah, aku menangis. Menenangkan sekali rasanya saat menangis dan mengetahui kau ada diujung telfon untuk menghiburku kapanpun aku selesai menangis. Lalu, sampai pada suatu titik dimana aku menyadari sesuatu -dan aku mengakuinya. Entahlah ini apa, tapi sangat nyaman mengetahui apapun yang terjadi, aku punya kamu yang akan kubagi tentang keluh kesahku tentang apapun yang terjadi. Aku merasa aku punya kamu, untuk berbagi apapun. 

Aku bingung. Teman-temanku berkata aku nyaman pada orang yang salah. Friendzone. Mereka bertanya "Kalian ini apa? Sahabat itu hanya embel-embel kah? Kamu mau nyaman dengannya sampai kapan?" Aku tidak tahu pasti apa jawaban dari semua pertanyaan mereka. Aku ingin terus didekatmu apapun label yang menamai kita. 

Namun aku tiba lagi disebuah titik yang berbeda, dimana pada titik tersebut susah sekali untuk mendengarkanmu jika kau sedang berbicara tentangnya. Aku tidak tahu, sebut aku egois tapi begitu adanya. Kadang, jika kau bercerita tentang bagaimana kau diacuhkannya, ingin aku membenci dia. Bagaimana mungkin dia tidak bisa melihat orang seluarbiasa dirimu sebagai seorang yang istimewa? Maafkan aku karena membenci pujaan hatimu. 

Titik yang aneh adalah saat aku-memaksa diriku- mengakuinya. Aku jatuh cinta. Pada setiap apapun tentang dirimu. Namun, aku rasa aku sudah tahu jawabannya. Semua temanku pun berkata hal yang sama. Kita adalah suatu yang tidak mungkin. Kamu dengan pujaan hatimu yang lain. Aku dengan bayangan tentangmu. Namun, untuk saat itu aku membiarkan semuanya. Membiarkan diriku semakin nyaman dan jatuh cinta padamu. Membiarkan aku berbicara padamu setiap hari dan tetap menjadikanmu orang yang akan kubagi kisah apapun yang terjadi padaku. Sampai dimana seorang teman menanyakanku "sampai kapan?".

"Sampai kapan mau terus nyaman dengan orang yang salah?" 
"Sampai kapan berharap semuanya berubah, padahal kenyataannya tidak mungkin?"
"Kamu tahu kamu harus berhenti saat itu juga saat kamu tahu kamu berharap dia akan menyadari kamu."

Aku kemudian menyadari lagi, aku ini apa? Inikah sahabat? Aku tidak yakin sahabat harus berbicara setiap hari sehingga merasa nyaman. Aku tidak yakin ingin terus nyaman tanpa tujuan dengan orang yang tidak merasakan hal sebaliknya. Aku ingin berhenti. Berhenti merasakan semuanya. Akhirnya kamu bertanya saat aku memberhentikan obrolan kita. Aku kembali bertanya, untuk apa kamu harus berbicara padaku setiap hari? Bukankah kamu punya dia dan teman-temanmu yang lain disana untuk bercerita? Sampai akhirnya aku bertanya "Kenapa harus denganku?" dan mendapatkan jawaban "Karena kau sahabatku."

Dari situ aku mengerti, peranku adalah sahabat. Itu tidak berubah. Satu-satunya hal yang berubah selama ini adalah perasaanku terhadapmu. Aku cinta kamu. 

Mungkin ini tidak akan berubah, maka dari itu aku butuh waktu. Waktu untuk aku mengerti. Waktu untuk kita berdua mencari apa arti masing-masing kita untuk diri sendiri. Arti kamu buat aku, dan aku buat kamu. Dan untuk itu, aku perlu "kita" untuk keluar dari kehidupan masing-masing.

"Terkadang, kita perlu menjauh untuk melihat sesuatu menjadi lebih jelas."
"Sebab cinta terkadang harus berkorban. Mengerti bahwa kita yang aku inginkan, tak selalu berarti sama bagimu.-aksarabicara"

Karena semua inilah aku perlu bersiap. Bersiap keluar dari dunia dimana kamu sebagai pusatnya. Bersiap untuk tidak lagi terbiasa ada kamu. Karena aku tahu, semakin lama ada kamu didalam duniaku, semakin aku tidak bisa lepas dari kenyamanan yang aku tahu tidak akan melebihi batas peranku sebagai sahabat.

Sayang, sebut aku egois dan tidak dewasa tapi ini caraku untuk membuat segalanya benar, baik untukmu maupun untukku. Kita masih berteman, sungguh. Hanya semuanya tidak bisa menjadi sebagaimana mestinya dahulu.

Sampai nanti semua kembali sebagaimana mestinya lagi, ingatlah untuk selalu bahagia.
Atas semua yang telah kita bagi -cerita, tangis, tawa dan bahagia- ingatlah, aku selalu menyayangimu.

For what it's worth, I love you.